Minggu, 16 September 2007

Perumahan Banjarbaru

Masalah Perumahan Tak Hanya Didominasi PNS

BANJARBARU – Selama ini birokrat selalu dipaksa memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Namun, kalau rumah layak huni saja sangat sulit dimiliki, bagaimana mungkin pelayanan yang berkualitas tinggi itu dapat terpenuhi. Ini adalah persoalan serius yang harus menjadi perhatian utama.

Demikian dikatakan Supian Noor, Supervisor Marketing dan Teknis PT Citra Mas Persada, yang merupakan pengembang perumahan terkenal di Banjarbaru.

Menanggapi informasi yang menyebutkan 500 lebih dari 2.930 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Banjarbaru belum memiliki rumah pribadi, Supian menyatakan cukup prihatin. Pasalnya, sekarang ini uang muka untuk kredit rumah itu lebih ringan lantaran difasilitasi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) dengan dana berkisar Rp 7 juta sampai Rp 10 juta per orang. Dan dikabarkan secara nasional dana yang disediakan Bapertarum adalah Rp 2,2 triliun.

Meski krisis rumah bukan hanya dialami PNS, tetapi juga anggota TNI, Polri, serta kelompok masyarakat lainnya. Namun setidaknya, PNS merupakan pilar pelayanan bagi masyarakat memiliki semangat kerja yang tinggi, salahsatunya terpenuhi kebutuhan primer berupa tempat tinggal sederhana milik pribadi.

Ditambahkan Supian, pihaknya sejatinya memiliki target untuk menyediakan perumahan khusus PNS. Tetapi mekanismenya bertahap.”Saat ini kami masih konsentrasi membangun perumahan khusus TNI dan Polri,” ucapnya.

Diakui Supian, jumlah rumah yang dapat terpenuhi bagi PNS itu hingga akhir Maret 2007 lalu baru berkisar 200-an, itupun menyebar di kota idaman bukan menyatu di satu areal pemukiman. “Volume ketersediaan perumahan sebenarnya selalu meningkat setiap tahun di Banjarbaru. Hanya saja peruntukkan bagi PNS kapan direalisasi, sulit diprediksi lantaran terbentur masalah manajemen,” tegasnya.

Mengenai benturan harga rumah sederhana yang mahal dan tak terjangkau saku PNS, Supian berpendapat bahwa akar persoalan adalah harga tanah di Banjarbaru yang selalu meningkat sangat cepat. Yakni minimum 40 persen per tahun.

Hal tersebut, tak sebanding dengan upah atau gaji karyawan yang mengalami kenaikan maksimal 10 persen per tahun. Akibatnya, rumah yang dibangun tak mampu dibeli sebagian besar masyarakat karena harganya mesti disesuaikan dengan output pengembang perumahan tersebut.

Kondisi itu diperburuk lagi dengan rencana tata ruang yang tidak konsisten dan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Apalagi, kemampuan pemerintah kota untuk memberikan subsidi di bidang perumahan dan permukiman semakin lemah. Karena dana yang dialokasikan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBD, sementara sub sektor lain, seperti jalan raya dan irigasi membutuhkan biaya banyak."Akibatnya, tumbuh kawasan perumahan dan permukiman yang tak sehat. Terlebih lagi dengan harga selangit yang tak terjangkau kantong PNS,” tandasnya.(uni)

Tidak ada komentar: